Selasa, 23 Juni 2009

J3NU#


by.Rio Febrian


Ternyata hati, tak bisa berdusta

Meski ku coba, tetap tak bisa

Dulu cintaku, banyak padamu

Entah mengapa, kini berkurang

Reff :
Maaf, aku jenuh padamu

Lama sudah kupendam

Tertahan di bibirku

Mauku tak menyakiti

Meski begitu indah

Ku masih tetap saja…. Jenuh ….

Tahukah kini, kau kuhindari

Merasakan kau, ku lain padamu

Kini temukan, hanya cinta saja

Sementara kau, merasa cukup

Selasa, 09 Juni 2009

DILEMA HIDUP, PILIHAN ANTARA MENIKAH ATAU TIDAK........


Pasti kamu pernah mendengar bahkan mengalami keadaan seperti berikut ini:
"saat kamu masih kuliah pasti pernah ditanyain, kuliah jurusan apa? kapan selesai? saat kamu sudah selesai kuliah pasti pernah ditanyain, sudah kerja? kerja dimana? habis itu ditanyain lagi, udah punya pacar? orang apa? kerja dimana? sudah berapa lama pacaran? klo semua itu sudah dijawab, pertanyaan berikut yang akan muncul, kapan nikah?"
Pertanyaan paling akhir ini terkadang menjadi pertanyaan yang paling banyak terlontar. Pertanyaan yang cukup menakutkan juga untuk segelintir orang.
Apa yang kamu rasakan saat orang2 di sekitarmu mulai mempertanyakan kapan kamu akan hidup berumah tangga? sementara di lain sisi kamu sedang ingin hidup sendiri, menikmati status kesendirianmu. Menikmati masa2 “kemerdekaan”mu sebagai sebuah pribadi karena kamu tidak lagi dituntut untuk belajar dalam dunia pendidikan yang formal, namun engkau tetap terus belajar dalam dunia nyata sebagai manusia yang terus berusaha menjadi lebih baik dari hari ke hari. Tindakan bijak seperti apa yang harus dilakukan agar orang2 disekitar kita bisa mengerti keadaan kita?
Buat kamu para wanita, pernah ga terlintas dalam pikiranmu bahwa ketika kamu diminta oleh orang tuamu untuk menikah, mereka berpikir bahwa tanggung jawab mereka sebagai orang tua akan selesai ketika mereka menikahkan anak perempuannya?
Apakah seorang pria hanya dianggap seperti seorang penjaga saja ketika ia menikah dengan wanita pilihannya? apakah seorang pria hanya dinilai sebatas memberi nafkah materi saja? jika hanya sebatas itu, seorang wanita pun tidak perlu menikah, toh saat ini wanita sudah mampu untuk membiayai hidupnya sendiri dan mampu pula menjaga dirinya sendiri. Terkadang pandangan orang tua inilah yang cukup memberikan tekanan mental pada anak.
Buat kamu para pria, saat akhirnya kamu menikah karena permintaan orang tuamu, hanya sebagai wujud pertanggung jawabanmu karena sudah terlalu lama kau memacari kekasihmu? Ataukah hanya sebatas agar dapat memberikan cucu kepada orang tuamu? Ataukah kau menikah hanya karena kekasihmu keburu hamil karena perbuatanmu? Jika hanya sebatas itu alasanmu menikah, kasihan sekali wanita yang kau nikahi. Apakah wanita hanya dipandang sebatas tempat tidur saja? Hanya sebatas kemampuannya memberikan keturunan, dan jika dia tak bisa memberikan keturunan maka kau campakkan dia kemudian mencari yang baru?
Menikah merupakan impian setiap orang, membangun sebuah keluarga yang di dasari cinta dan kasih sayang, namun saat ini banyak ditemukan pernikahan yang hancur dengan berbagai alasannya. Ketika ketidakcocokkan menjadi alasan, mengapa harus menemukan itu saat rumah tangga sudah diarungi? Manusia itu diciptakan berbeda satu dengan yang lain, sehingga akan sangat sulit menemukan orang yang sama persis seperti yang kita inginkan. Ketidakcocokan sebagai alasan perceraian adalah alasan yang sangat tidak masuk akal, alasan yang dicari-cari untuk mempermulus jalannya perpisahan. Akhirnya akan keluar sebuah pernyataan, untuk apa menikah jika hanya mencari kecocokan? Berteman saja, jika sudah tidak cocok pertemanan itu bisa diputuskan, toh itu jauh lebih mudah dibandingkan harus meninggalkan luka.
Menikahlah jika kamu merasa siap untuk menikah, menikahlah jika kamu memang siap untuk menghabiskan sisa hidupmu dengan seseorang yang berbeda denganmu, menikahlah jika kamu memang sadar bahwa sudah saatnya kamu hidup dengan seseorang yang kamu cintai setulus hatimu dan mencintaimu setulus hatinya, menikahlah dengan orang yang menghargaimu sebagai sebuah pribadi bukan sebagai sebuah property, tapi jangan hanya sekedar menganggap pasanganmu sebagai istri atau suami, tapi anggap dia sebagai patner hidupmu. Terkadang jika kita mengganggap pasangan kita sebagai istri atau suami, maka sisi egois kita akan muncul tanpa kita sadari. Kita menganggap istri atau suami kita adalah milik kita, sehingga pasangan kita sudah tidak lagi bisa memiliki privacy atas dirinya sendiri, namun ketika kita menganggap pasangan kita adalah patner hidup kita, maka kita jauh lebih menghargai dia sebagai pribadi, kita dapat belajar menghargai perbedaan yang ada dan belajar untuk menjadi lebih bijak menghadapi perbedaan itu.
Mungkin apa yang aku tuliskan saat ini, banyak yang tidak sependapat. Itu hal yang sangat wajar, jika semua setuju, sudah tidak ada kekritisan dalam berpikir. Mungkin sebagian dari anda yang telah membaca tulisan ini berpendapat atau berpikir bahwa aku berada dalam tekanan dan dilema tentang pilihan dalam hidup untuk menikah atau tidak. Tidak kupungkiri bahwa tuntutan usia memang menjadi salah satu faktor yang membuatku berpikir soal pernikahan, tapi bukan hanya sekedar mendapatkan status sebagai istri dari seorang pria. Aku ingin sebuah pernikahan dimana aku menghabiskan sisa hidup dengan seorang partner yang mampu menghargai perbedaan, menghargai sebuah privacy, menjunjung tinggi sebuah komitmen dan menghargai agungnya sebuah pernikahan.
Tulisan ini bukan sebuah tuduhan, bukan juga sebuah prasangka, hanya sepenggal rasa yang coba ingin ku bagi. Hanya sebatas wacana yang hadir dalam benakku, yang sebenarnya cukup mengganggu pikiranku. Hanya sebatas sebuah protes yang hadir karena melihat semakin banyak orang yang saat ini memandang sebuah pernikahan hanya sebatas status, sebatas legal hitam diatas putih, sebatas menghasilkan keturunan, sebatas menyenangkan orang lain, sebatas memuaskan keinginan daging, sebatas menghindari gunjingan orang sebagai perawan ataupun perjaka tua hanya karena menganut budaya ketimuran, bahwa perawan atau perjaka tua adalah sebuah “kenistaan”. Aku hanya berharap semoga ada perubahan dalam berpikir, jangan pernah menjadi orang yang hanya bisa menuduh orang lain tanpa pernah mampu melihat kesalahan dalam diri sendiri dan memperbaikinya. Jadilah manusia yang sadar bahwa kita tidak pernah sempurna tapi kita mampu berubah menjadi lebih baik dari hari ke hari.